Friday, September 3, 2010

(Beginning) Diskusi Meja Makan: Pelaku Firman

Beragam hal yang Tuhan singkapkan beberapa waktu belakangan ini. Sepertinya Ia memperlihatkan padaku, yang kecil dan lemah ini, hal-hal yang sudah pernah kulihat, kurasa, dan kudengar, namun kali ini, dalam level yang berbeda. Karena aku seorang manusia dan seorang pelupa, biarkan aku menangkap dan mengabadikan (satu-persatu) momen yang dapat kuingat dalam bentuk tulisan. Kira-kira beginilah (salah satu) kejadiannya..


Pada bulan Agustus 2010 yang lalu, Bali kedatangan satu keluarga penginjil, Kel. Situmorang, yang terdiri dari sepasang suami istri dan seorang anak laki-laki berumur 5 tahun. Terakhir kali saya bertemu dengan keluarga tersebut sekitar pertengahan 2008 kemarin. By the grace of God, saya menerima sms dari si Bapak penginjil, Bang Hery, untuk mengunjungi mereka yang baru 2 hari di Bali. Pun saya bercampur senang dan kaget menerima kabar tersebut. Dalam euphoria 5 menit, saya mencoba menangkap maksud Tuhan lewat kedatangan keluarga penginjil ini di Bali. Kira-kira seperti ini lah bisikan Roh Kudus pada hati saya "Seila, keluarga ini akan menjadi penolong bagimu. Sesuatu yang luar biasa akan terjadi! Cintailah didikanKu dan jadilah berkat".
Waktu berjalan, kami bertemu, melepas rindu, berbagi cerita, tawa, dan kenangan akan masa lalu, masa ini, dan impian di masa depan...
Banyak hal yang sudah terjadi semenjak kami bertemu kembali tanggal 17 Agustus 2010. Tuhan menginjinkan saya menjadi berkat bagi keluarga ini. Dimulai dari mencari sekolah untuk putra mereka, Moses, berlanjut ke perburuan alat-alat rumah tangga bersama si Ibu, Kak Yanti, sampai pada akhirnya interaksi-interaksi kami berubah menjadi sekolah hidup buatku, seperti buku pelajaran yang terbuka untuk bisa ku baca dan ku pelajari.
Biasanya, setelah selesai mengantarkan mereka dengan motorku (Mio, B6568CHZ), kami, aku dan kak Yanti, selalu mengobrol tentang banyak hal di ruang tamu mungil mereka. Awalnya, kami duduk di lantai, tanpa tempat ataupun alas duduk, dikarenakan mereka penghuni baru, kemudian 'ritual' itu berganti dengan sharing di meja makan (pemberian tetangga yang mereka taruh di ruang tamu mungil mereka). Nah, dari situ lah semuanya (benar-benar) di mulai..


Denpasar, Bali, Indonesia (September 3, 2010)
Hari ini Kak Yanti mensharingkan padaku banyak hal mengenai awal kepindahan mereka di Bali. Bagaimana mereka harus menata hidup mereka dari awal kembali, mengingat kedatangan mereka ke Bali hanya dengan membawa pakaian, buku, dan Iman yang Tuhan anugerahkan kepada keluarga tersebut. Kak Yanti bercerita bagaimana ia merasakan pertolongan Tuhan di pagi pertama keluarga ini berada di Bali. Tetangga mereka, satu-persatu, secara khusus menjadi perpanjangan tangan Tuhan dalam hidup mereka dengan meminjamkan penanak nasi, galon air, meja, rantang, gelas, sendok, dan beberapa peralatan kecil lainnya. Kata bang Hery, tetangga mereka adalah pelaku Firman yang sebenarnya. Bila mau dibandingkan dengan kehidupan mereka sebelum pindah ke Bali, mereka hidup berkecukupan, namun memilih meninggalkan hal-hal tersebut dan memberikannya pada orang sekitar yang lebih membutuhkan. Eitss, jangan berpikir tentang 'pikul salib' dulu. Saya hanya membawa anda ke dalam ruang perbandingan sehingga anda bisa lebih jelas melihat anugerah Tuhan dalam hidup keluarga ini. Keluarga yang memilih untuk tunduk pada didikan Tuhan, walaupun berat dan penuh dengan lembah air mata, namun mereka percaya pada pimpinan Tuhan untuk dibentuk lebih indah lagi. Bagi saya merekalah pelaku Firman. Keadaan mereka semakin dicobai dengan Moses yang harus masuk sekolah awal September ini, biaya sekolah yang tidak murah dan pengeluaran-pengeluaran lainnya. Intinya, mereka harus hidup dengan mengandalkan pertolongan Tuhan. Mencukupkan diri dengan keadaan finansial yang ada dan beradaptasi dengan dunia baru.Tidaklah mudah, khususnya untuk pribadi yang sudah berkeluarga. Saya cukup mengerti perasaan Kak Yanti yang agak 'sesak' dengan keadaan ini, karena wanita umumnya lebih sensitif dan sulit untuk beradaptasi dengan hal baru. Namun, satu hal saya tangkap dari sharing Kak Yanti bahwa Tuhan menyediakan semua yang mereka perlukan, walau tidak sesuai dengan apa yang mereka bayangkan dan inginkan.
Pembicaraan kami berlanjut ke seputar perjalanan orang-orang yang Kak Yanti kenal, perubahan hidup yang dialami mulai dari seorang supir gereja sampai pembicara-pembicara besar yang ia kenal. Itu cukup membuat saya harus menutupi muka karena malu pada diri sendiri. Saya merasa kecil sekali di hadapan Tuhan, menyadari hal yang saya lakukan selama ini belum ada apa-apanya. Sangat, sangat jauh dari kata 'berjuang' untuk Tuhan. Tenang, ini bukan intimidasi dari si iblis, namun Tuhan memang sengaja mencambuk saya lewat hal-hal 'kecil' seperti ini. Biar saya sadar. Dia emang paling tahu cara membuat saya 'bergerak'.
Pembicaraan berlanjut hingga sore hari, kami sedikit kebablasan untuk bagian sharing-sharingan, bang Hery pun datang. Melihat keluarga ini berinteraksi dengan tetangganya membuat saya 'belajar' diam-diam, bagaimana mereka menghargai kata demi kata yang si tetangga ucapkan, ekspresi yang mereka berikan kepada lawan bicara, cara menghadapi anak laki-laki mereka yang unik sambil mendidik, sungguh full of lessons. Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa keluarga ini tanpa cacat cela, ataupun saya yang terlalu melebih-lebihkan karena ada unsur kekaguman, namun, keluarga ini memang melimpah akan berkat dari Tuhan, sehingga mereka tidak perlu menunjukkannya, berkat itu sudah terpancar. Ibarat air yang di tuang terus menerus ke dalam sebuah gelas, dan air itu tidak pernah berhenti mengalir, sehingga air itu pun bertumpahan karena si gelas tidak cukup besar untuk menyimpan air itu sendiri.
Ketika hari semakin sore, dan pembicaraan kami semakin seru, salah seorang tetangga terlihat bergegas keluar rumah. Dengan pakaian rapi dan muka yang lelah, dia mengatakan hendak ke gereja untuk mengawasi jalannya suatu acara. Ada sedikit keragu-raguan pada muka si tetangga, dia terlihat celingukan, dan kebingungan. Dia mengetuk rumah salah satu tetangga yang lain, memanggil beberapa kali dengan suara lirih kemudian mengurungkan niatnya untuk membuat si empunya rumah keluar. Dalam beberapa menit saya bisa membaca bahwa si tetangga tidak mempunyai alat transportasi yang dapat mengantarkannya ke gereja. Kemudian kak Yanti menawarkan bang Hery untuk mengantarkan ke gereja, yang jaraknya hanya beberapa menit dari rumah mereka. Namun karena bang Hery belum fasih naik motor, jadi niat itu batal dijalankan. Selama mereka berdiskusi dan membicarakan solusinya, ada yang berkecamuk dalam batin saya.
"Kamu kan punya motor, Seila, kenapa bukan kamu saja yang mengantarkan dia?" tanya hati,
saya menjawab "Ah, aku kan tidak kenal. Lagipula kami sedang dalam diskusi yang seru sekali nih!",
Hening sejenak, kemudian si hati melanjutkan, "Kamu kan harusnya jadi pelaku Firman, Seila. Bagaimana mau jadi berkat, mengantar dia ke gereja saja kamu ogah. Berharap untuk dipakai Tuhan lebih lagi? Jangan mimpi!".
Saya tersentak. Si tetangga saat itu sedang berusaha menutup pintu gerbang dan hendak pergi, saat saya berkata "Mbak, apa mau diantar saya saja?". Kak Yanti pun tanpa dikomando merespon "Iya, sekalian sama Seila aja". Jadilah dalam secepat kilat saya mempersiapkan diri untuk pamit sekalian mengantar si tetangga ke gereja. Fiuhh, saya hampir saja kalah...
Ujian yang baru saja saya alami (pergolakan hati soal mengantar si tetangga ke gereja) cukup menohok hati saya. Dalam perjalanan pulang, saya tidak berhenti memikirkan pelajaran-pelajaran yang didapat hari ini. Pelaku Firman. Pelaku Firman bukanlah mereka yang sudah membaca kitab Kejadian sampai Wahyu, bukanlah mereka yang senang mendengar firman Tuhan, bukanlah mereka yang pintar secara teori akan kebenaran firman Tuhan, namun pelaku Firman adalah mereka yang mampu menangkap pesan Allah, taat akan didikan, dan mempraktekkan dengan hati seorang hamba.
Saya semakin diteguhkan dengan quote dari C.S Lewis (pencipta buku Narnia) yang saya dapat sore ini juga lewat Twitter:
Integrity is doing the right thing, even when no one is watching
Kalimat ini mengatakan kepada saya, jadilah pelaku Firman ditempat dimana saya tidak mempunyai 'label', ditempat dimana tidak ada yang memperhatikan, dikondisi terlemah dan terkelam saya, dikondisi dimana yang akan saya dapatkan hanya cemoohon, atau di pandang sebelah mata. Jadi bila digabung akan seperti ini:
Pelaku Firman adalah dia yang mampu menangkap pesan Allah, taat akan didikan, dan mempraktekkan dengan hati seorang hamba, ditempat dimana dia tidak mempunyai 'label', ditempat dimana tidak ada yang memperhatikan, dikondisi terlemah dan terkelamnya, dikondisi dimana yang akan ia dapatkan hanya cemoohon, atau di pandang sebelah mata. Jangan takut karena saya (kita) adalah pelaku Firman.

Saya pun makin merasa kecil dan malu, namun disaat yang sama merasa tertantang untuk berbuat lebih lagi. Belajar lebih lagi. Dididik lebih lagi.
Terima kasih Tuhan. Today's awesome! Soli Deo Gloria!

No comments:

Post a Comment