Tuesday, December 15, 2009

Lets Talk About Sex


Let's Talk About Sex




Siang tadi, saya singgah ke suatu tempat dimana seorang teman biasa mengais rejeki. Satu tempat sederhana tempat baju-baju kotor disulap menjadi baju-baju bersih nan rapih. Perempuan berumur 20an itu menawari saya teh manis untuk mengawali pertemuan kami. Lima menit kemudian, untuk sekedar berbasa-basi, saya bertanya soal kapan dia hendak melangsungkan pernikahan. Pertanyaan itu keluar begitu saja, selain saya memang gemar membahas soal percintaan dengan para wanita, saya tahu bahwa teman saya ini memang lagi asik merajut kisah kasih dengan pacarnya. Jadi pertanyaan itu murni hanya iseng-iseng, dan kelanjutannya, pertanyaan itu berbuah. Berbuah manis dan pahit.
Teman saya menjawab dengan polos, “Mungkin dua tahun lagi, kak Sela”, ada pause sejenak kemudian dia melanjutkan, “memang awalnya orang tua marah, namun setelah saya jelaskan, sekarang mereka agak melunak”. Sedikit bingung, saya balik bertanya, “Lho, marah kenapa?”. Teman saya tidak langsung menjawab pertanyaan yang saya lemparkan, penjelasan yang dia berikan terkesan berputar-putar dan sedikit memaksa saya untuk memahami keadaannya saat ini. Penantian saya berhenti pada saat dia mengucapkan “Yah, kan kami sudah tinggal bareng”. Saya tidak mengedipkan mata selama beberapa detik setelah kalimat itu terucap, entah mengapa dan darimana asalnya, amarah mulai merambah dalam hati saya. Dia masih asik berceloteh, sementara saya mencoba mengerti perubahan emosi yang saya alami sambil meminta pimpinan Tuhan untuk bersikap bijak. Saya memilih untuk menegur secara halus dan berkata, “Kamu udah tahu itu tidak baik, jadi jangan dilanjutkan”. Dia terus membela diri, dengan berbagai alasan dari masalah ekonomi sampai kehendak Tuhan untuk mereka agar terus bersama. Saya berharap, sungguh, dia akan berkata “Kami memang tinggal bareng, tapi kami belum pernah berhubungan sex kok, kak”. Sayangnya, kalimat itu tidak pernah terlontar dari mulutnya. Semakin saya berusaha menyadarkannya, semakin dia bersikeras melegalkan tindakannya. Saya tidak mau berdebat, saya tidak datang untuk berdebat, tempat tersebut bukan tempat yang cocok untuk berdebat dan kalau pun kami berdebat, saya pikir itu hanya akan memperuncing suasana tanpa menemukan solusi, tidak secepat itu. Saya memilih untuk menjadi pendengar. Kemudian dia berkata, “Itu juga salah satu alasan kenapa aku jarang ke gereja, semua orang gereja udah tahu kalo aku tinggal bareng sama pacar”. Tiba-tiba saya teringat akan seorang pria paruh baya yang pernah sharing di ibadah kaum muda kami, dia mengabdikan hidupnya untuk melayani orang-orang yang dianggap sampah oleh masyarakat. Saya mendapat begitu banyak hal untuk direnungkan dan dipelajari ketika mendengar kesaksiannya dan saya mencoba menerapkannya pada teman saya yang lagi curcol ini. Saya berkata, “Jangan gitu donk, tetep dateng ke gereja lah”, dan teman saya pun tersenyum sambil mengangguk. Saya berharap dia bisa datang ke gereja minggu ini. She needs help, means she needs God.

Dalam perjalanan pulang, seperti yang sering saya lakukan, diatas motor saya merenung dan bertanya pada Tuhan “God, what should I do?”. Segala kejadian-kejadian serupa dimasa lalu yang terjadi disekeliling saya, orang-orang yang saya kasihi yang terlibat didalamnya, muncul bagai slideshow, sangat random. Begitu banyak orang-orang disekeliling saya yang ‘luput’ dari doa, pengawasan dan support saya. Tidak jarang, dahulu, saya sering menyalahkan diri saya ketika mendengar ada teman yang hamil diluar nikah atau melakukah hubungan sex pra-nikah (sex bebas). Percaya atau tidak, saya merasa bertanggung jawab atas kehidupan orang-orang tersebut! Sudah tidak terhitung berapa banyak perempuan dan pria disekeliling saya yang merelakan keperawanannya berakhir dengan jalan pintas, it’s all because of the sake of temporary happiness.

Seorang teman pernah mengemukakan pandangannya soal sex, bagi dia sex merupakan sebuah kebutuhan. Seperti makan nasi, kamu lapar maka kamu makan. Kalau dia sedang ingin having sex, maka dia akan berhubungan sex. Pada saat dia mengemukakan hal tersebut, saya tidak berusaha membantah, saya hanya berkata, “Well, saya punya pandangan yang berbeda”. Bagi saya sex merupakan hal yang suci, diciptakan untuk tujuan mulia. Kalau sudah berkaitan dengan mulia dan suci tentu saja berkaitan dengan Tuhan, Sang Pencipta sex itu sendiri. Sex itu nikmat, kata guru bahasa Inggris saya ketika saya masih duduk di bangku SMP. Dia mengucapkan itu ketika dia baru jadi newlywed. Saya percaya dan setuju! Namun kenikmatan bukanlah tidak memiliki batasan. Batasannya adalah sudah terikat dengan pernikahan (dihadapan Tuhan) kemudian sex digunakan sebagai media untuk mengekspresikan kasih antara pasangan tersebut. Kedengarannya bukanlah hal yang sulit, namun pada pengaplikasiannya manusia sulit untuk melakukan hal tersebut. Saya sudah melihat begitu banyak pasangan ‘kumpul-kebo’ yang memilih hidup bersama tanpa ikatan pernikahan, pasangan selingkuh, komersialisi sex dan banyak lagi penyimpangan-penyimpangan pengaplikasian sex dalam kehidupan manusia, yang tidak sesuai lagi dengan koridor yang seharusnya (ditetapkan Tuhan). Mereka gagal.

Dahulu, saya merupakan salah satu dari mereka. Saya gagal untuk mengaplikasikan sex yang suci dan mulia dalam kehidupan saya. Saya belum bisa cerita tentang detailnya, saya belum siap untuk bercerita dengan tulisan ini sebagai medianya. Mungkin pengakuan saya saat ini terlihat setengah-setengah, hal ini saya lakukan karena saya tidak mau ada yang menyebut saya munafik atau berpikir bahwa saya gak tahu apa-apa soal sex, setelah saya memunculkan tulisan ini. Saya tahu kok. Namun yang pasti, saya bukanlah saya yang dulu, yang belum mengenal Tuhan. Sekarang, saya merupakan Seila yang baru, yang sudah menerima Yesus Kristus sebagai satu-satunya Juruselamat yang hidup.

Saya belajar untuk menghargai sex, terlebih lagi untuk belajar menghargai Dia sang pencipta sex itu sendiri. Banyak cara yang digunakan si iblis untuk memperdaya kita, manusia yang lemah and terbatas. Mungkin suatu hal yang luar biasa jika kita manusia yang lemah and terbatas dapat bertahan dari pergaulan sex bebas didunia yang semakin lama semakin jahat ini. Saya menyarankan anda untuk tetap berpegang pada Dia, renungkan firmanNya dan tetap setia dalam doa. Gak ada hal yang gak mungkin di dunia ini, anda pun bisa jatuh dalam dosa sex. Gak usah sok jago. Prestasi, posisi and latar belakang pendidikan nggak bisa menyelamatkan anda dari masalah ini, berpegang deh pada Dia! Jatuh dalam dosa sex atau gagal dalam mengaplikasikan sex yang suci dan mulia bukan hanya berarti you made sex or you lived in the same building with your gf/bf. Oral sex, onani, masturbasi, berpikiran kotor etc merupakan contoh-contah pengaplikasian sex yang salah. Kita, yang memiliki natur berdosa, memiliki persentase yang besar untuk bisa melakukan dosa-dosa tersebut.

Saya tidak mencoba mengutip ayat Alkitab atau kalimat-kalimat dari para pembicara terkenal untuk meyakinkan anda bahwa sex bebas tidak pernah memberikan keuntungan yang permanen. Tulisan ini murni dibuat karena kesedihan saya melihat kebobrokan pemuda di jaman ini. Jangan sia-siakan masa mudamu, kamu berharga bagi Allah! Mengapa harus mencicipi kesenangan yang dapat engkau nikmati nanti, ketika secara umur kamu sudah dianggap matang dan secara psikologis kamu sudah dianggap siap? Mengapa harus menyakiti hati Allah dengan melakukan hubungan sex yang tidak sesuai dengan tujuan yang sudah Allah tetapkan saat Ia menciptakannya? Sex merupakan hal yang suci, yang diciptakan untuk mewujudkan perintah Allah untuk beranak cucu, dan sex merupakan alat untuk mengekspresikan kasih sayang antar pasangan yang sudah menikah di dalam Tuhan. Tidak ada kata kompromi untuk hal yang satu ini. Jangan biarkan dirimu terhanyut oleh kesenangan sesaat. Tidak ada untungnya! Dunia memang jahat, karena itu sudah sepatutnya kita sebagai dombanya tetap berjaga-jaga, seperti dikatakan dalam Roma 12:2
“Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.”
Kuncinya terletak pada penyerahan diri yang mutlak dan membiarkan Allah berdaulat atas hidup kita. Let Him leads our ways and keep seeking for His Kingdom. Selamat berjuang didunia yang jahat ini, kaum muda! Waspadalah.. Waspadalah!

Monday, December 7, 2009

Harga Sebuah Senyuman




HARGA SEBUAH SENYUMAN






Saya adalah seorang manusia yang telah hidup di dunia ini selama 23 tahun. Selama 23 tahun itu pula, seringkali saya bangun tidur di pagi hari dengan perasaan tidak menentu. Tidak menentu maksudnya bisa berarti banyak hal kecuali bahagia. Kebayang gak sih dari berjuta-juta perasaan (belum pernah ada penelitian yang meneliti banyaknya perasaan manusia sih, namun ungkapan ini sering dipakai untuk menunjukkan kemajemukkan perasaan manusia), saya tidak merasa bahagia ketika bangun pagi. Ada seorang teman yang menyebutnya morning-bad mood, saya sih ikut-ikut aja selama nggak disebut morning-sickness. Saya nggak tahu apakah morning-bad mood ini hanya dirasakan oleh orang-orang spesial seperti saya, ataukah hampir setiap wanita (pernah) merasakannya, atau morning-bad mood ini pernah juga dialami oleh kaum pria (saya belum pernah jadi pria, tapi kalau saya jadi pria, saya janji akan memberitahukannya kepada anda).


Morning-bad mood sering kali membuat saya jengah sendiri karena saya orang yang percaya dengan ungkapan ‘start your day with a smile’. Jadi, it sometimes freaks me out when I found myself hard to smile (in this case, when I woke up in the morning). Siapa sih di dunia ini yang mau harinya jadi buruk? No one, semua orang berharap harinya berjalan dengan baik and mulus. Biasanya kalau saya bangun dengan perasaan kayak gitu, kemungkinan besar, saya tidak akan semangat ngerjain apapun, bergerak 2 detik lebih lambat dari biasanya, kebanyakkan bengong and minim ekspresi muka.


Beberapa hari belakangan ini, morning-bad mood itu sering menghinggapi diriku (halah!). Saya bangun pagi, mengecek handphone (jangan ditiru!), sibuk dengan handphone (ini lebih-lebih, jangan ditiru!), menatap langit-langit seakan ngomong sama Tuhan ‘kok perasaanku aneh ya, Tuhan?’, kira-kira beginilah serangkaian 30 menit pertama ketika saya membuka mata di pagi hari.
Beberapa hari yang lalu, saya bangun dengan morning-bad mood. Saya memutuskan untuk pergi makan tahu tek diseputaran jalan Diponegoro, siangnya. Butuh waktu yang lama untuk akhirnya saya bersiap-siap, seperti yang sudah saya bilang, gerakan saya menjadi 2 detik lebih lambat dari biasanya. Singkatnya, saya sampai ditempat tahu tek yang dijual dengan harga 7000 perak seporsi. Semua berjalan biasa saja sampai ketika minuman saya habis dan saya hendak memesannya lagi. Saya berkata pada asisten chef tahu tek (yang bantu-bantu), ‘pak, minumannya donk, satu lagi.’ (guys, saya bener-bener minim ekspresi muka saat itu). Namun, pria yang kira-kira berusia 32 tahun itu tersenyum kepada saya sambil berkata ‘baik, mbak.’. Saya mendadak meleleh, bukan karena senyuman si asisten yang menawan (ga banget), namun karena disenyumin senyuman polos oleh seorang pria yang mungkin masalah hidupnya lebih banyak daripada masalah hidup saya. Disenyumin ketika saya sedang tidak tersenyum pada dia, rasanya WOW! Tanpa bermaksud ekstrim and hiperbola, tapi di saat yang sama, saya ingin menangis. Menangis terharu. Saya akhirnya punya alasan untuk merasa bahagia. Saya diingatkan untuk merasa bahagia. Lewat sebuah senyuman. Sambil memakan tahu tek, saya banyak merenung, merenungkan hal-hal yang sudah saya lewatkan sebelum saya sampai di tempat tahu tek.


Saya tiba-tiba teringat dengan momen-momen serupa yang pernah saya alami, ketika hati terasa hambar, ada begitu banyak orang yang menghangatkannya hanya dengan sebuah senyuman. Orang-orang tersebut kebanyakkan bukanlah orang yang saya kenal. Pernah suatu kali ada seorang ibu pemilik warung yang juga menjual bensin eceran, pernah juga ada seorang bapak pengendara mobil dan begitu banyak orang-orang asing diluar sana yang menghangatkan hati saya yang dingin. Posisi tiap orang dalam tiap kehidupan seseorang memang berbeda. Untuk orang-orang tersebut, mereka memberi harmoni tersendiri dalam hidup saya. Hanya dengan pertemuan beberapa menit dan mereka membuat saya menyadari bahwa hidup terlalu indah untuk dipandang dari ruang yang sempit. Orang-orang tersebut dipakai Tuhan untuk mengingatkan saya bahwa sebuah hari terlalu indah untuk dijalani dengan bermuram durja. Kenapa saya harus bermuram durja ketika saya harusnya bersukacita untuk segala nikmat yang udah Tuhan berikan?


Hal ini terasa begitu sederhana namun memiliki impact yang cukup kuat dan besar. Bayangkan bila orang-orang tersebut tidak tersenyum, salah satu hal yang tidak akan pernah terjadi adalah saya tidak pernah menyadarinya dan menulis tulisan ini. Sesuatu yang dilakukan pada saat yang tepat dengan porsi yang tepat pasti memiliki daya ‘ledak’ yang hebat.


Harga sebuah senyuman bagi saya tak ternilai harganya. Senyum-senyum mereka sungguh menghangatkan saya ketika dunia saya terasa muram. Ketika saya (berpikir) bahwa saya tidak mempunyai alasan lagi untuk tersenyum, ketika saya merasa tertekan, ketika tidak ada orang disekeliling saya yang bisa mengerti saya, ketika saya sedang minim kekuatan, they showered me with love through a smile. Tanpa bermaksud menyingkirkan posisi Roh Kudus yang (saya percaya) tinggal dalam hati saya, saya sungguh merasa terberkati dengan bagaimana mereka menghibur saya. Mungkin itu adalah salah satu cara Tuhan untuk tersenyum. Ketika saya, yang masih hidup dengan tubuh jasmani ini, tidak dapat memandang Tuhan secara ‘live’, I can see God smiling at me through them.


Tersenyumlah sahabatku ‘coz you might warm one’s cold cold heart with a smile. I am one of the ‘victim’. For those people who have shown me how beautiful life is, for became words when I have nothing to speak, THANK YOU. And God, You are the creator of us all, Your ways always amuse me, THANK YOU for shown me such important lesson. I might forget about this lesson someday, but I know, You will always send me angels to remind me how beautiful my life is. I am a student of God’s school and I am learning to be more like You. Love You, Lord